Total Views

Senin, 13 Oktober 2014

Digitalisasi Dunia Pertelevisian










Pendahuluan


Televisi merupakan salah satu souvenir paling fenomenal dari abad ke-20. Kehadirannya yang ajaib mampu merubah kultur suatu bangsa maupun negara secara progressif bahkan radikal. Hal ini tidak diherankan mengingat sejak awal kehadiran televisi memang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam fungsinya memperoleh hiburan dan informasi (Abrar, 2003:71). Sehingga cenderung kehadiran televisi membuat santai penggunanya.



Dewasa ini setelah lebih dari 50 tahun lebih penyiarannya, ternyata ditemukan sebuah fakta ketidakpuasan bahwa sistem transmisi yang ada saat ini belum bisa memuaskan para pihak-pihak yang terkait. Sistem transimi tersebut adalah sistem analog. Sistem analog adalah sistem yang menggunakan modulasi analog dalam penyebaran siarannya. Hal ini dinilai ketinggalan zaman. Walau, akhir-akhir ini ada peningkatan mutu pemancaran televisi analog dengan pemanfaatan saluran kabel atau satelit yang membuat gambar di layar televisi nampak lebih jernih. Tetapi, dirasakan hasil yang ada tetap belum maksimal. Hal ini dibuktikan pada tahun 1998 saat para pengusaha pemancar televisi menyadari ada kendala yang tidak dapat ditembus untuk terus meningkatkan mutu gambar siaran televisi jika tetap menggunakan standar analog. Mulai saat itulah muncul wacana untuk memindah teknologi analog ke digital secara total.



Hal di atas menjadi dasar pemikiran lahirnya wacana mendigitalkan dunia pertelevisian, yang juga bermakna menggeser era televisi analog ke era televisi digital. Ditambah dengan konteks perjalanan panjang industri televisi di Indonesia sejak tahun 1962 yang sampai saat ini belum terlalu banyak perubahan teknologi yang signifikan. Ibaratnya, segala keterbatasan yang ada menjadikan alasan mendigitalkan dunia pertelevisian menjadi mutlak adanya (Kompas, 12 Agustus 2007).





Membicarakan Televisi


Berbicara mengenai proses mendigitalkan televisi tentu juga tidak lepas dari membicarkan apa itu televisi. Di sini televisi yang sering kita bahas dan nikmati sehari-hari sebenarnya adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari asal kata tele dan vision, yang bermakna jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi, televisi pun dapat berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh (Wikipedia, 2007).



Sedang, secara lebih detail Ensiklopedia Encarta (2007) menyatakan bahwa televisi adalah suatu sistem di mana terjadi pengiriman dan penerimaan sinyal elektronik melalui kabel maupun fiber optik ataupun radiasi elektromagnet. Sinyal yang beroperasi di dalamnya biasanya disiarkan dari suatu tempat yang tersentral (stasiun televisi) dan diterima oleh alat penerima seperti pesawat televisi ataupun stasiun relay yang digunakan oleh perusahaan televisi kabel (Microsoft Encarta, 2007).



Penemuan televisi konon bahkan disejajarkan dengan penemuan roda, internet dan mesin cetak. Karena imbasnya yang sangat luar biasa hingga mampu mengubah peradaban dunia secara drastis. Ditambah pula banyak ahli komunikasi yang meyakini televisi merupakan salah satu media komunikasi yang paling berpengaruh di dunia saat ini.


Selanjutnya, apa sih televisi digital itu? Dapat dikatakan bahwa televisi digital adalah standar baru transmisi gambar dan suara untuk dunia broadcast (penyiaran). Sistem ini hadir untuk menggantikan sistem analog yang telah mandek perkembangannya. Istilah televisi digital bukan didasarkan pada pesawat televisinya yang digital, melainkan lebih kepada sinyal yang ditransmisikan adalah sinyal digital atau mungkin yang lebih tepat adalah siaran digital (Khoirul Anwar dalam Berita Iptek, 11 Januari 2006).



Dalam Suara Merdeka (28 Februari 2005) muncul pertanyaan menarik untuk konsumen, ”Apa yang salah dengan sistem pemancaran analog? Bukankah pesawat televisi semacam itu dapat menerima pemancaran lewat kabel dan satelit, serta bisa menampilkan gambar dari DVD dan camcoders?”. Ternyata permasalahan utama dari pesawat televisi analog bukanlah kemampuannya dalam menyiarkan siaran dari berbagai jalur, melainkan bagaimana kualitas produk siarannya yang terbatas. Jika kita lebih jeli dalam membandingkan dengan sebuah monitor komputer (yang mutunya cukup bagus). Akan terlihat bahwa ternyata monitor komputer memiliki kejernihan gambar hingga lebih dari 10 kali lipat dari televisi analog terbaik. Bahkan, tren kedalaman mutu gambar tujuh mega-pixel kini sudah lazim terjadi pada kamera digital. Mereka yang lazim sehari-harinya menggunakan layar monitor, di saat kembali menonton televisi analog ibarat melihat slide gambar yang buram dan tidak jernih.



Burhan Bungin (2001) menambahkan sebagai media televisi memiliki posisi strategis. Televisi dinilai paling efektif, dengan besarnya penetrasi. Dia memiliki kemampuan audio dan visual yang saling mendukung. TV adalah media yang merakyat dengan kemampuan publikasi yang maksimal sehingga disebut juga saluran budaya massa. Begitu strategisnya posisi televisi maka kembali muncul pertanyaan berikutnya, “Tidakkah perubahan ini benar-benar dibutuhkan?”. Saya akan tegas menjawab, “Ya, sangat dibutuhkan!”. Sangat dibutuhkan agar posisi strategis tersebut dapat dimaksimalkan ke hal-hal yang lebih konstruktif dalam tataran kemajuan bangsa dan negara.



Televisi Digital: Suatu Tawaran Progressif


Dewasa ini perkembangan teknologi digital telah merambah ke segala aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam dunia penyiaran televisi. Digitalisiasi siaran televisi ini diyakini akan memberikan manfaat lebih dibanding sistem siaran analog.


Secara umum beberapa alasan pokok berpindah dari televisi analog ke digital adalah sebagai berikut. Pertama, kualitas gambar yang lebih baik. Kualitas gambar dan warna yang dihasilkan jauh lebih bagus daripada televisi analog. Bahkan konon pori-pori kulit seorang presenter pun menjadi terlihat sangat jelas di depan pesawat televisi karena gambar yang dihasilkan jauh lebih bersih dan jelas (Khoirul Anwar dalam Berita Iptek, 11 Januari 2006).


Kedua, pemirsa dapat memilih sendiri kapan akan menonton, remote tidak lagi untuk memilih saluran tapi juga untuk melihat simpanan program, siaran interaktifistilahnya. (Suara Merdeka, 28 Februari 2005). Budi Putra kolumnis IT di Majalah Tempo menambahkan bahwa kunci untuk membayangkan televisi masa depan adalah memandangnya bukan sebagai televisi. Contohnya, siaran berita jam 6 bukan hanya dikirim ketika Anda menginginkannya, tetapi dapat diedit dan diakses secara acak oleh pemirsanya sendiri. Pendek kata, televisi masa depan adalah semacam komputer yang sangat serbaguna dan bersifat interaktif.


Ketiga, migrasi dari era analog menuju era digital memiliki konsekuensi tersedianya saluran siaran yang lebih banyak. Tidak ada lagi antrian ataupun penolakan ijin terhadap rencana pendirian televisi nasional maupun lokal karena keterbatasan frekuensi. Televisi digital pun dapat digunakan layaknya browser internet, sehingga sangat integratif fungsinya. Hal ini tentu akan membuka peluang lebih luas bagi para pelaku penyiaran dalam menjalankan. (Kompas, 12 Agustus 2007)


Ketiga alasan di atas membawa kita kepada asumsi bahwa televisi digital sebagai produk perkembangan teknologi membawa kita selangkah lebih maju dan mudah. Begitu pula seluruh pihak-pihak di dunia pertelevisian, baik pemirsa, stasiun televisi, maupun produser program mendapat imbas dari terbukanya lapangan kerja baru. Meluasnya lapangan kerja juga berarti memperbaiki perekonomian negeri ini.



Asumsi lain yang berkembang adalah bagaimana masa depan pemirsa televisi lebih menarik. Televisi yang menjadi siaran interaktif akan lebih memudahkan pemirsanya untuk mencari-cari program yang dia sukai. Tidak ada lagi prime-time karena saat itu pemirsa dapat saja mencari program lain yang dia sukai, dan masih banyak kelebihan lain yang memanjakan kebutuhan pemirsa, bukan keinginan.


Dilema yang Dihadapi


Mengganti televisi analog ke digital bukanlah perkara sebalik membalik telapak tangan. Hal ini wajar mengingat betapa banyak aspek yang harus dipersiapkan. Apalagi mengingat hampir seluruh komponen pertelevisian di Indonesia masih menggunakan komponen analog. (ITS Online, 21 November 2007)


Di sisi konsumen sendiri perlu diadakan masa transisi. Masa transisi digunakan untuk secara bertahap mengganti televisi analog ke digital, alasan utama menggunakan masa transisi seperti yang diungkapkan oleh Budi Putra (Tempo Interaktif, 1 September 2002) adalah untuk melindungi puluhan juta pemirsa yang telah memiliki TV analog untuk dapat secara perlahan-lahan beralih ke teknologi TV digital tanpa terputus layanan siaran yang ada selama ini. Karena bagi konsumen, mengubah televisi dari analog ke digital bukanlah hal yang murah. Harga televisi digital di pasaran saat ini berkisar puluhan sampai ratusan juta, harga yang bagi membuat bergidik sebagian besar warga Indonesia. Kalaupun tidak, diberikan solusi untuk menggunakan set top box (STB). Yaitu suatu alat dekoder transmisi digital ke analog agar pesawat televisi analog tetap dapat menangkap siaran digital. STB pun di pasaran hargarnya relatif terjangkau, berkisar 1-3 juta rupiah.



Begitu pula di sisi industri pertelevisian, masa transisi juga digunakan untuk melindungi aset industri dan investasi analog yang telah ada. Sehingga kerugian secara finansial dapat ditekan sedemikian rupa. (Suara Merdeka, 28 Februari 2005)









Realita di Indonesia


Dari laporan grup peneliti Digital Broadcasting Jepang (DiBEG) dan Monbukagakusho, bahwa sekitar bulan Februari 2004 Indonesia telah memulai serangkaian penelitian menuju era televisi digital. Penelitian tersebut digawangi olehTimnas Migrasi Sistem Penyiaran Televisi Analog ke Digital. Dalam penelitian tersebut, timnas telah melibatkan pula Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagaipilot.(Detikinet, 25 April 2007). Hasil kajian dan penelitian tersebut kemudian dirilis ke stasiun-stasiun televisi sebagai bentuk pemberitahuan dan juga peringatan agar mempersiapkan diri terhadap rencana datangnya era teknologi televisi digital.



Lebih lanjut, hasil kajian dan penelitian tentang teknologi televisi digital direspon dengan cekatan oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan keluarnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk televisi tidak bergerak di Indonesia. Berdasarkan peraturan ini, sistem penyiaran TV kelak menggunakan standar DVB-T2 yang telah digunakan banyak negara di Eropa, Australia dan Asia. 


Teknologi DVB-T2 (Digital Video Broadcasting-Terrestrial Second Generation) adalah teknologi termuktahir dari sistem utama DVB – DVB-C2 untuk kabel dan DVB-S2 untuk satelit. Data digital yang digunakan dalam standar DVB merupakan data terkompresi dalam format MPEG-4. Pemilihan format ini didasarkan pada pertimbangan kualitas kompresi dan sudut pandang komersial yang cukup menguntungkan. Disamping itu format MPEG-4 juga telah menjadi standar dalam sistem video digital di dunia seperti dalam format DVD. Menurut Budi Putra (Tempo Interaktif, 2007), DVB adalah teknologi standar terbuka (open standard atau open source) yang pengembangannya secara bisnis sangat terbuka dan bermakna hebat ke depannya. Hal ini mirip dengan yang terjadi pada operating system berbasis Linux yang juga bebas pengembangannya.



Ke depannya, pemerintah harus menjalankan fungsinya sebaik mungkin. Pemerintah harus melindungi produsen televisi digital sebagai regulator perundang-undangan, seperti perlindungan hak cipta untuk melindungi dari pembajakan dan berbagai aturan lain. Sedangkan, stasiun televisi diharapkan dapat cepat dalam mengubah sistem produksi, siaran dan transmisinya ke digital. Contoh yang dapat dijadikan teladan adalah TransTV, karena stasiun ini telah menyiapkan sistem digital sejak berdiri tahun 2000, perkecualian tentu pada sistem transmisinya. Bahkan, kini SCTV melakukan hal yang serupa. (Milis TV-Islam, 31 Mei 2007)




Aspek terakhir pun tidak ketinggalan yaitu konsumen. Konsumen diharapkankooperatif dengan program ini. Paling tidak dengan berusaha menyesuaikan diri dengan teknologi yang akan terjadi di masa depan.


Maka dari itu, semua harus bekerja sama sebaik mungkin karena teknologi digital ini hanya akan optimal jika seluruh proses sudah digital, mulai dari hulu (produksi) hingga ke hilir (pasca produksi, penyiaran dan transmisi). Diharapkan dengan sinergi dari kesemua pihak, diperkirakan tahun 2017 sistem pertelevisian di Indonesia akan berubah total dari analog ke digital.


Saat transformasi itu sempurna diharapkan “televisi interaktif” sebagai konsep yang ditawarkan oleh teknologi televisi digital akan terwujud. Pemirsa akan dapat memilih sendiri program yang dia sukai. Entah itu murni program berita, petualangan, film, atau hanya sinetron belaka, semuanya dapat terwujud. Tidak seperti saat ini yang homogen siarannya, seperti tayangan prime time yang diisi oleh sinetron di hampir seluruh stasiun televisi. Nantinya, pemirsa adalah raja bagi diri mereka sendiri tanpa harus mengikuti jadwal siaran yang ditetapkan oleh televisi.



Kemudian, sistem rating yang ada selama ini dapat pula bergeser ke rating kualitatif yang selama ini diwacanakan. Jika dahulu rating kuantitatif menggunakan sample yang sangat acak dengan parameter yang belum jelas maka dengan adanya televisi digital hampir seluruh pemirsa dapat menyumbang suara dalam penilaian. Setiap pemirsa yang memiliki televisi digital bahkan dapat pula memberikan kritik dan saran terhadap acara yang sedang mereka tonton, hal ini tidak mustahil mengingat perangkat televisi digital merupakan perangkat yang terintegrasi dengan saluran internet.












Simpulan


Bernardus Satriyo (Kompas, 12 Agustus 2007) menyampaikan bahwa bagaimanapun dalam era penyiaran digital telah terjadi konvergensi antarteknologi penyiaran (broadcasting), teknologi komunikasi (telepon), dan teknologi internet (IT). Dalam era penyiaran digital, ketiga teknologi tersebut sudah menyatu dalam satu media transmisi. Dengan demikian akses masyarakat untuk memperoleh ataupun menyampaikan informasi menjadi semakin mudah dan terbuka. Di sinilah televisi digital menjadi solusi yang tepat.



Kemudian, mengingat pula karakter masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan dengan tingkat pendidikan yang sangat beragam, diperlukan tuntunan kepada masyarakat bagaimana memilih program yang benar. Untuk itu, diperlukan stasiun penyiaran yang bertanggung jawab dan juga lembaga pengawas yang berwibawa.



Momentum penyiaran digital dapat membuka peluang yang lebih banyak bagi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan ekonominya. Peluang usaha di bidang rumah produksi, pembuatan aplikasi-aplikasi audio, video dan multimedia, industri sinetron, film, hiburan, komedi dan sejenisnya menjadi potensi baru untuk menghidupkan ekonomi masyarakat.


Maraknya stasiun televisi dengan dasar perkembangan teknologi di Indonesia ternyata belum diimbangi kualitas tayangan yang memadai. Padahal, seperti kita ketahui bersama televisi adalah salah satu entitas media paling ampuh untukmendoktrin masyarakat tentang agama, nilai sosial, pola hidup, dsb. Akan sangat disayangkan bila pelaku usaha hanya mengejar keuntungan semata tanpa menyadari imbas yang dihadirkan dari produk mereka terhadap masyarakat.


Seperti yang dipaparkan Abrar (2003:72-73) paling tidak ada dua hal yang harus diwaspadai dari perkembangan teknologi pertelevisian, yaitu: kecenderungan sikap konsumerisme yang meningkat sebagai imbas rasa gengsi yang tumbuh pesat di dalam masyarakat dan juga makin rawannya ikatan kebangsaansebagai efek domino dari globalisasi informasi yang juga berperan. Kedua hal ini harus diwaspadai agar tidak menjadi bumerang bagi kemajuan bangsa ini suatu saat nanti.


Terakhir, semoga kemajuan teknologi televisi ini akan diimbangi niat baik pemerintah dan pelaku usaha penyiaran untuk berbuat yang terbaik dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Semoga…




Oleh M. Zulfi Ifani


Ilmu Komunikasi UGM, SP/21465

Disadur sepenuhnya dari http://zulfiblog.wordpress.com/2008/02/25/digitalisasi-dunia-pertelevisian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo comment! =D